masukkan script iklan disini
Pelaut Online - Pelaut Senior Dalam Kesempatan Usai Lebaran, Setelah Presiden Jokowi Berlebaran Dengan Rakyatnya Di Padang, Solo Dan Jogja. Saling Mohon Ma’af Mema’afkan Antara Kepala Negara Dan Rakyatnya Di Hari Raya Iedul Fitri 1 Syawal 1437 H..
Kembali Pelaut Senior Layangkan Surat Kepada Presiden Jokowi, Paling Tidak Untuk Memperkuat Motivasi Bagi Pelaut Yang Akan Menyampaikan Kesaksiannya Besok Hari Selasa, 19 Juli 2016, Jam 10.00 WIB, Di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Jl. Bungur Besar, Jakarta Pusat.
Jika Pada Momentum Yang Baik Itu, Pelaut Senior Akhirnya Juga Mengkritisi Miskinnya Kebijakan Pemerintahan Presiden Jokowi Terhadap Keberadaan Pelaut Indonesia Melalui Suratnya Sebagai Berikut Dibawah Ini.
Semoga Saja Bemanfaat. Amiin.
Jakarta, 18 Juli 2016.
Kepada Yang Terhormat,-
Bapak Presiden JOKOWI
di Istana Negara
Jl. Veteran No. 17,
JAKARTA PUSAT 10110.
Perihal : Menagih Janji Bapak Presiden Yang Akan Tunduk Pada Konstitusi dan Kehendak Rakyat.
Dengan hormat,-
Ijinkan kami, Pelaut Senior, untuk menyampaikan aspirasi atau curahan hati ditengah perasaan bangga kami yang terpendam sejak Bapak Presiden menyampaikan konsep Poros Maritim Dunia di Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) ke-9 East Asia Summit (EAS) pada 13 November 2014 di Myanmar, yang mengagendakan pembangunan Indonesia akan difokuskan pada 5 pilar utama, diantaranya membangun prioritas pembangunan infrastruktur dan konektivitas maritim dengan membangun Tol Laut, Sea Port, Logistik, Industri Perkapalan dan Pariwisata Maritim, serta membangun kekuatan maritim sebagai bentuk tanggungjawab menjaga keselamatan pelayaran dan keamanan maritim, dan konsep Bapak Presiden tersebut disambut baik oleh 10 (sepuluh) negara anggota ASEAN dan 8 (delapan) negara Mitra Wicara ASEAN.
Menyusul pidato kenegaraan Bapak Presiden di Sidang Bersama DPR-DPD pada 14 Agustus 2015 yang mana Bapak Presiden menyatakan ingin membuktikan pada dunia bahwa bangsa Indonesia adalah bangsa maritim, yang tak boleh lagi memunggungi samudera dan laut yang menurut Bapak Presiden memiliki laut yang terbentang luas, potensi ekonomi, potensi pertahanan, dan potensi persatuan. Seiring dengan itu Bapak Presiden juga menyatakan jika kita harus menggali lagi budaya maritim dan identitas maritim bangsa Indonesia, agar mampu menunjukkan kepada dunia, bahwa bangsa Indonesia mampu untuk menjaga dan mendayagunakan lautnya dengan penuh kesungguhan.
Namun perasaan kebanggaan kami ini realitanya paradoks dengan kenyataan yang ada, setelah dengan secara seksama kami membaca, mempelajari, dan mengetahui di lapangan jika 6 (enam) butir tuntutan melalui 3 (tiga) kali aksi damai para pelaut generasi penerus yang berhimpun dalam wadah perjuangan yang disebut Pergerakan Pelaut Indonesia (PPI), sesungguhnya benar-benar dilatarbelakangi oleh banyaknya permasalahan yang aktual dan faktual. Lontaran eksistensi Pelaut Indonesia memang ibarat “Sapi Perah” yang diperbuat oleh para oknum birokrat kita (Direktorat Jenderal Perhubungan Laut / Ditjen Hubla) dan juga pengurus organisasi serikat pelautnya sendiri (Kesatuan Pelaut Indonesia / KPI). Bahkan dirasakan menjadi “Anak Tiri” oleh Pemerintah sendiri sejak Bapak Presiden dilantik pada 20 Oktober 2014 sampai sekarang ini, adalah memang benar-benar adanya.
Termasuk 9 (sembilan) agenda prioritas Bapak Presiden yang di kenal “Nawa Cita” yang terdokumentasi di Komisi Pemilihan Umum (KPU) sejak 20 Mei 2014, salah satunya akan menghadirkan kembali negara untuk melindungi segenap bangsa dan memberikan rasa aman pada seluruh warga negara. Sayangnya sejak kami layangkan surat “Petisi Pelaut Indonesia” 6 Oktober 2015 dan surat “Resolusi Mohon Negara Hadir” 10 Februari 2016 kepada Bapak Presiden, tak ada kenyataan yang konkret. Pemerintahan Bapak Presiden secara jujur bisa disebut cenderung kurang memperdulikan kehidupan Pelaut Indonesia yang sejatinya merupakan sumber daya manusia (SDM) potensial bagi kelangsungan visi Poros Maritim Dunia dan tulang punggung profesional bagi perspektif keberlanjutan pembangunan Tol Laut.
Kami hanya bisa merasa prihatin jika Anak Buah Kapal (ABK) WNI sekarang ini kerap menjadi target empuk bagi perompak di perairan Filipina selatan untuk mendapatkan tebusan dengan ABK WNI dijadikan sandera, yang keselamatan jiwanya tidak terjamin karena perompak itu adalah kelompok bersenjata. Kami juga prihatin ketika Pengurus Pusat (PP) KPI melakukan kedzholiman terhadap pelaut anggotanya yang purna-layar karena faktor usia yang sudah masuk manula, dengan mengabaikan santunan terhadap masa tuanya. Padahal ketentuan organisasi KPI untuk menerima setoran kontribusi dari pihak perusahaan yang mempekerjakan pelaut anggotanya di kapal-kapal asing di luar negeri itu, sebenarnya adalah untuk program diklat, kegiatan sosial dan kesejahteraan bagi pelaut dan keluarganya yang dalam kepengurusan PP KPI selama ini tidak pernah ada untuk membantu para pelaut anggota yang sudah purna-layar tersebut.
Begitu juga dengan Maritime Labour Convention (MLC) 2006 yang belum di ratifikasi, salah satunya karena masih adanya rasa keberatan dari pihak Indonesian National Shipowners Association (INSA), juga turut menjadi keprihatinan karena ketentuan International Labour Organization (ILO) tersebut yang didukung oleh International Maritime Organization (IMO) dan berisikan aturan soal hak-hak dasar pelaut di dunia, sebenarnya standard MLC 2006 sudah diberlakukan sejak 20 Agutus 2013. Sehingga standard upah minimum (UMR / UMP) terkesan terabaikan jika dikaitkan dengan hak azasi manusia (HAM) terhadap para ABK Indonesia.
Padahal Indonesia adalah bangsa yang beradab dan memperhatikan persoalan HAM yang dijamin hak-haknya oleh konstitusi negara (UUD 1945) secara serius. Padahal Pemerintah juga sudah mempunyai Mapel (Maklumat Pelayaran) yang dikeluarkan oleh Ditjen Hubla yang mengharuskan untuk pelaut domestik dengan pangkat terendah, penggajiannya tidak boleh lebih rendah dari UMR / UMP yang sedang diberlakukan. Maka dengan masih banyaknya gaji ABK Indonesia berada di bawah UMR / UMP, menyertainya menjadi suatu keprihatinan tersendiri.
Kemudian dengan mengacu pada penerimaan taruna baru angkatan 48 tahun akademik 2012/2013, Akademi Pelayaran Niaga (Akpelni) Semarang telah menerima 523 taruna terdiri 491 orang laki-laki dan 32 orang perempuan. Namun adanya animo bagi perempuan untuk menjadi calon pelaut dengan memasuki dunia akademis, untuk menjadi cadet guna mengikuti teori pelayaran dalam 1 (satu) tahun Prala (Praktek Kerja Laut) sudah lebih dulu dihadapkan diskriminasi gender oleh pihak perusahaan pelayaran niaga lebih dulu. Apalagi jika ingin bekerja usai Prala, diskriminasi gender semakin memprihatinkan dan yang banyak diberlakukan oleh manning agent.
Lebih lanjut dengan banyaknya keluhan Pelaut Indonesia soal biaya sertifikat yang mahal dan yang setiap 5 (lima) tahun sekali harus diperpanjang, sehingga bagi seorang pelaut harus menyisihkan sekitar 20% (dua puluh persen) hasil kerja minimalnya yang didapatkan untuk siap-siap memperpanjang sertifikat. Sertifikat yang harus dipenuhi oleh para pelaut sesuai dengan acuan Amandement SCTW (Standar Training and Certification of Watchkeeping) Manila 2010 selain untuk rating memiliki BST (Basic Safety Training), SSAT (Ship Security Awareness Training) dan AFF (Advance Fire Fighting), juga ada perubahan ANT/ATT menjadi COP (Certificate Of Proficiency) IV-I dan ANT.D/ATT.D menjadi NWR (Navigational Watch Rating), sudah harus dipenuhi.
Sementara untuk perwira deck ada 8 (delapan) tambahan sertifikat lagi, dan 5 (lima) tambahan sertifikat untuk perwira mesin. Namun apa daya, keluhan tinggal keluhan, pelaut suka tidak suka, harus mengikuti semua. Sebab Pemerintah tidak ingin gonta-ganti atau pemutihan sertifikat, hanya untuk penuhi aturan IMO SOLAS (Safety Of Life At Sea). Ini juga sangat memprihatinkan karena pada realitanya ada dampak bagi pelaut yang tidak mampu, kemudian dihadapkan oleh ancaman pengangguran.
Terakhir ditengah banyaknya masalah yang krusial tersebut diatas ini, oknum aparat penegak hukum konon berbuat seperti perompak di Sungai Mahakam yang kian terang benderang. Semakin banyak publik bicara dalam aksi bajak di sungai yang ditengarai berlangsung sejak awal 2000-an atau 6 (enam) tahun lalu. Bukan hanya preman dan warga sipil, oknum aparat penegak hukum diduga terlibat. Menurut sumber dari Kaltim Post (!5/6/2016), menyajikan berbagai bukti bahwa perompak di perairan Samarinda sebenarnya mulai berkurang. Justru di perairan Kutai Kartanegara (Kukar) perompak lebih menjamur. Oknum aparat beraksi adalah dengan meminta uang dan bahan bakar minyak (BBM) solar secara paksa, maka gangguan keamanan dan perlindungan yang rentan seperti itu membuat para pelaut menjadi gelisah.
Maka menjadi jelas Bapak Presiden jika visi Poros Maritim Dunia, program Tol Laut, misi Nawa Cita, semangat Revolusi Mental guna menuntaskan Reformasi Birokrasi, yang kami banggakan tersebut benar-benar menjadi paradoks serta yang sama sekali tidak pernah menyentuh keberadaan Pelaut Indonesia. Untuk itu ijinkan kami, Pelaut Senior, menagih janji kepada Bapak Presiden yang menegaskan hanya tunduk pada konstitusi negara dan kehendak rakyat. Kami masih belum lupa dari memori atas janji Bapak Presiden dalam debat calon presiden putaran ketiga yang digelar di Hotel Grand Melia, Jakarta, pada 15 Juni 2014 tersebut.
Demikian perihal pada pokok surat ini disampaikan dan atas perhatian serta perkenan Bapak Presiden memenuhi janjinya demi kepastian nasib Pelaut Indonesia ke depan, kami ucapkan terima kasih. Konfirmasi kami nantikan di kontak person 081380024579.
Salam dan hormat kami.
atasnama dan atau mewakili
Pelaut Senior,
Ketua, CORNELIUS P FERDINAND
Sekretaris, HASOLOAN SIREGAR
Selamat Berjuang Selalu Sahabat .
source permalink
Mungkin itulah Artikel Berita Hari ini dan terimakasih telah baca postingan Surat Cinta Pelaut Senior Kepada Presiden RI Jokowi Kesekian Kalianya Kepada Pemerintah
Kembali Pelaut Senior Layangkan Surat Kepada Presiden Jokowi, Paling Tidak Untuk Memperkuat Motivasi Bagi Pelaut Yang Akan Menyampaikan Kesaksiannya Besok Hari Selasa, 19 Juli 2016, Jam 10.00 WIB, Di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Jl. Bungur Besar, Jakarta Pusat.
Jika Pada Momentum Yang Baik Itu, Pelaut Senior Akhirnya Juga Mengkritisi Miskinnya Kebijakan Pemerintahan Presiden Jokowi Terhadap Keberadaan Pelaut Indonesia Melalui Suratnya Sebagai Berikut Dibawah Ini.
Semoga Saja Bemanfaat. Amiin.
Jakarta, 18 Juli 2016.
Kepada Yang Terhormat,-
Bapak Presiden JOKOWI
di Istana Negara
Jl. Veteran No. 17,
JAKARTA PUSAT 10110.
Perihal : Menagih Janji Bapak Presiden Yang Akan Tunduk Pada Konstitusi dan Kehendak Rakyat.
Dengan hormat,-
Ijinkan kami, Pelaut Senior, untuk menyampaikan aspirasi atau curahan hati ditengah perasaan bangga kami yang terpendam sejak Bapak Presiden menyampaikan konsep Poros Maritim Dunia di Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) ke-9 East Asia Summit (EAS) pada 13 November 2014 di Myanmar, yang mengagendakan pembangunan Indonesia akan difokuskan pada 5 pilar utama, diantaranya membangun prioritas pembangunan infrastruktur dan konektivitas maritim dengan membangun Tol Laut, Sea Port, Logistik, Industri Perkapalan dan Pariwisata Maritim, serta membangun kekuatan maritim sebagai bentuk tanggungjawab menjaga keselamatan pelayaran dan keamanan maritim, dan konsep Bapak Presiden tersebut disambut baik oleh 10 (sepuluh) negara anggota ASEAN dan 8 (delapan) negara Mitra Wicara ASEAN.
Menyusul pidato kenegaraan Bapak Presiden di Sidang Bersama DPR-DPD pada 14 Agustus 2015 yang mana Bapak Presiden menyatakan ingin membuktikan pada dunia bahwa bangsa Indonesia adalah bangsa maritim, yang tak boleh lagi memunggungi samudera dan laut yang menurut Bapak Presiden memiliki laut yang terbentang luas, potensi ekonomi, potensi pertahanan, dan potensi persatuan. Seiring dengan itu Bapak Presiden juga menyatakan jika kita harus menggali lagi budaya maritim dan identitas maritim bangsa Indonesia, agar mampu menunjukkan kepada dunia, bahwa bangsa Indonesia mampu untuk menjaga dan mendayagunakan lautnya dengan penuh kesungguhan.
Namun perasaan kebanggaan kami ini realitanya paradoks dengan kenyataan yang ada, setelah dengan secara seksama kami membaca, mempelajari, dan mengetahui di lapangan jika 6 (enam) butir tuntutan melalui 3 (tiga) kali aksi damai para pelaut generasi penerus yang berhimpun dalam wadah perjuangan yang disebut Pergerakan Pelaut Indonesia (PPI), sesungguhnya benar-benar dilatarbelakangi oleh banyaknya permasalahan yang aktual dan faktual. Lontaran eksistensi Pelaut Indonesia memang ibarat “Sapi Perah” yang diperbuat oleh para oknum birokrat kita (Direktorat Jenderal Perhubungan Laut / Ditjen Hubla) dan juga pengurus organisasi serikat pelautnya sendiri (Kesatuan Pelaut Indonesia / KPI). Bahkan dirasakan menjadi “Anak Tiri” oleh Pemerintah sendiri sejak Bapak Presiden dilantik pada 20 Oktober 2014 sampai sekarang ini, adalah memang benar-benar adanya.
Termasuk 9 (sembilan) agenda prioritas Bapak Presiden yang di kenal “Nawa Cita” yang terdokumentasi di Komisi Pemilihan Umum (KPU) sejak 20 Mei 2014, salah satunya akan menghadirkan kembali negara untuk melindungi segenap bangsa dan memberikan rasa aman pada seluruh warga negara. Sayangnya sejak kami layangkan surat “Petisi Pelaut Indonesia” 6 Oktober 2015 dan surat “Resolusi Mohon Negara Hadir” 10 Februari 2016 kepada Bapak Presiden, tak ada kenyataan yang konkret. Pemerintahan Bapak Presiden secara jujur bisa disebut cenderung kurang memperdulikan kehidupan Pelaut Indonesia yang sejatinya merupakan sumber daya manusia (SDM) potensial bagi kelangsungan visi Poros Maritim Dunia dan tulang punggung profesional bagi perspektif keberlanjutan pembangunan Tol Laut.
Kami hanya bisa merasa prihatin jika Anak Buah Kapal (ABK) WNI sekarang ini kerap menjadi target empuk bagi perompak di perairan Filipina selatan untuk mendapatkan tebusan dengan ABK WNI dijadikan sandera, yang keselamatan jiwanya tidak terjamin karena perompak itu adalah kelompok bersenjata. Kami juga prihatin ketika Pengurus Pusat (PP) KPI melakukan kedzholiman terhadap pelaut anggotanya yang purna-layar karena faktor usia yang sudah masuk manula, dengan mengabaikan santunan terhadap masa tuanya. Padahal ketentuan organisasi KPI untuk menerima setoran kontribusi dari pihak perusahaan yang mempekerjakan pelaut anggotanya di kapal-kapal asing di luar negeri itu, sebenarnya adalah untuk program diklat, kegiatan sosial dan kesejahteraan bagi pelaut dan keluarganya yang dalam kepengurusan PP KPI selama ini tidak pernah ada untuk membantu para pelaut anggota yang sudah purna-layar tersebut.
Begitu juga dengan Maritime Labour Convention (MLC) 2006 yang belum di ratifikasi, salah satunya karena masih adanya rasa keberatan dari pihak Indonesian National Shipowners Association (INSA), juga turut menjadi keprihatinan karena ketentuan International Labour Organization (ILO) tersebut yang didukung oleh International Maritime Organization (IMO) dan berisikan aturan soal hak-hak dasar pelaut di dunia, sebenarnya standard MLC 2006 sudah diberlakukan sejak 20 Agutus 2013. Sehingga standard upah minimum (UMR / UMP) terkesan terabaikan jika dikaitkan dengan hak azasi manusia (HAM) terhadap para ABK Indonesia.
Padahal Indonesia adalah bangsa yang beradab dan memperhatikan persoalan HAM yang dijamin hak-haknya oleh konstitusi negara (UUD 1945) secara serius. Padahal Pemerintah juga sudah mempunyai Mapel (Maklumat Pelayaran) yang dikeluarkan oleh Ditjen Hubla yang mengharuskan untuk pelaut domestik dengan pangkat terendah, penggajiannya tidak boleh lebih rendah dari UMR / UMP yang sedang diberlakukan. Maka dengan masih banyaknya gaji ABK Indonesia berada di bawah UMR / UMP, menyertainya menjadi suatu keprihatinan tersendiri.
Kemudian dengan mengacu pada penerimaan taruna baru angkatan 48 tahun akademik 2012/2013, Akademi Pelayaran Niaga (Akpelni) Semarang telah menerima 523 taruna terdiri 491 orang laki-laki dan 32 orang perempuan. Namun adanya animo bagi perempuan untuk menjadi calon pelaut dengan memasuki dunia akademis, untuk menjadi cadet guna mengikuti teori pelayaran dalam 1 (satu) tahun Prala (Praktek Kerja Laut) sudah lebih dulu dihadapkan diskriminasi gender oleh pihak perusahaan pelayaran niaga lebih dulu. Apalagi jika ingin bekerja usai Prala, diskriminasi gender semakin memprihatinkan dan yang banyak diberlakukan oleh manning agent.
Lebih lanjut dengan banyaknya keluhan Pelaut Indonesia soal biaya sertifikat yang mahal dan yang setiap 5 (lima) tahun sekali harus diperpanjang, sehingga bagi seorang pelaut harus menyisihkan sekitar 20% (dua puluh persen) hasil kerja minimalnya yang didapatkan untuk siap-siap memperpanjang sertifikat. Sertifikat yang harus dipenuhi oleh para pelaut sesuai dengan acuan Amandement SCTW (Standar Training and Certification of Watchkeeping) Manila 2010 selain untuk rating memiliki BST (Basic Safety Training), SSAT (Ship Security Awareness Training) dan AFF (Advance Fire Fighting), juga ada perubahan ANT/ATT menjadi COP (Certificate Of Proficiency) IV-I dan ANT.D/ATT.D menjadi NWR (Navigational Watch Rating), sudah harus dipenuhi.
Sementara untuk perwira deck ada 8 (delapan) tambahan sertifikat lagi, dan 5 (lima) tambahan sertifikat untuk perwira mesin. Namun apa daya, keluhan tinggal keluhan, pelaut suka tidak suka, harus mengikuti semua. Sebab Pemerintah tidak ingin gonta-ganti atau pemutihan sertifikat, hanya untuk penuhi aturan IMO SOLAS (Safety Of Life At Sea). Ini juga sangat memprihatinkan karena pada realitanya ada dampak bagi pelaut yang tidak mampu, kemudian dihadapkan oleh ancaman pengangguran.
Terakhir ditengah banyaknya masalah yang krusial tersebut diatas ini, oknum aparat penegak hukum konon berbuat seperti perompak di Sungai Mahakam yang kian terang benderang. Semakin banyak publik bicara dalam aksi bajak di sungai yang ditengarai berlangsung sejak awal 2000-an atau 6 (enam) tahun lalu. Bukan hanya preman dan warga sipil, oknum aparat penegak hukum diduga terlibat. Menurut sumber dari Kaltim Post (!5/6/2016), menyajikan berbagai bukti bahwa perompak di perairan Samarinda sebenarnya mulai berkurang. Justru di perairan Kutai Kartanegara (Kukar) perompak lebih menjamur. Oknum aparat beraksi adalah dengan meminta uang dan bahan bakar minyak (BBM) solar secara paksa, maka gangguan keamanan dan perlindungan yang rentan seperti itu membuat para pelaut menjadi gelisah.
Maka menjadi jelas Bapak Presiden jika visi Poros Maritim Dunia, program Tol Laut, misi Nawa Cita, semangat Revolusi Mental guna menuntaskan Reformasi Birokrasi, yang kami banggakan tersebut benar-benar menjadi paradoks serta yang sama sekali tidak pernah menyentuh keberadaan Pelaut Indonesia. Untuk itu ijinkan kami, Pelaut Senior, menagih janji kepada Bapak Presiden yang menegaskan hanya tunduk pada konstitusi negara dan kehendak rakyat. Kami masih belum lupa dari memori atas janji Bapak Presiden dalam debat calon presiden putaran ketiga yang digelar di Hotel Grand Melia, Jakarta, pada 15 Juni 2014 tersebut.
Demikian perihal pada pokok surat ini disampaikan dan atas perhatian serta perkenan Bapak Presiden memenuhi janjinya demi kepastian nasib Pelaut Indonesia ke depan, kami ucapkan terima kasih. Konfirmasi kami nantikan di kontak person 081380024579.
Salam dan hormat kami.
atasnama dan atau mewakili
Pelaut Senior,
Ketua, CORNELIUS P FERDINAND
Sekretaris, HASOLOAN SIREGAR
Selamat Berjuang Selalu Sahabat .
source permalink
Mungkin itulah Artikel Berita Hari ini dan terimakasih telah baca postingan Surat Cinta Pelaut Senior Kepada Presiden RI Jokowi Kesekian Kalianya Kepada Pemerintah