masukkan script iklan disini
Pelaut Online - Pemerintah Indonesia harus terus mengoptimalkan saluran diplomasi dan menekan Pemerintah Filipina untuk membebaskan 11 WNI yang disandera kelompok teroris di Filipina Selatan secara tuntas, Namun, penanganan dengan skema antar pemerintah ini harus dilakukan secara hati-hati sesuai kebijakan Presiden Duterte yang kini memimpin pemerintah Filipina.
“Jangan sampai upaya yang dilakukan oleh Pemerintah Indonesia berseberangan dengan kebijakan Pemerintah Filipina yang baru, sehingga kontra produktif terhadap upaya pembebasan sandera,” tegas Hanafi Rustandi, Ketua Federasi Pekerja Transpor Internasional Asia Pasifik atau International Transport workers’ Federation (ITF) Asia Pasific di Jakarta, Kamis (11/8).
Penegasannya itu terkait belum dibebaskannya 10 ABK (Anak Buah Kapal) WNI yang disandera oleh kelompok Abu Sayyaf di Flipina Selatan. Sedang satu WNI lagi, Nakhoda kapal ikan berbendera Malaysia, diculik kelompok bersenjata di perairan Sabah, Malaysia, hingga sekarang belum diketahui nasibnya.
ITF mengamati, penculikan dan penyanderaan itu terjadi dalam tiga kasus secara terpisah. Pertama, 7 WNI ABK Kapal Tunda Charles 001, milik PT Perusahaan Pelayaran Rusianto Bersaudara, diculik oleh kelompok bersenjata yang mengklaim sebagai faksi Abu Sayyaf Group (ASG) pada 21 Juni 2016 di perairan Sulu, seusai mengantarkan batubara ke Distrik Villanueva, Propinsi Misamis Oriental, Filipina.
Tiga ABK pertama yang dibawa diculik adalah Ferry Arifin (Nakhoda), Muh. Mahbrur Dahri (KKM) dan Edi Suryono (Masinis II). Tak lama kemudian, Ismail (Mualim I), Muhammad Nasir (Masinis III), Muhammad Sofyan (Oliman), dan Robin Piter (Juru Mudi), juga diculik.
Untuk tiga ABK pertama, penyandera menuntut tebusan sebesar 150 juta Peso Filipina. Sedangkan untuk empat sisanya penyandera menuntut tebusan 250 juta Peso.
Kasus kedua, 3 WNI yang bekerja di kapal nelayan Malaysia, diculik di perairan Felda Sahabat, Malaysia, pada 9 Juli 2016. Penyandera yang juga kelompok Abu Sayyaf minta tebusan 200 juta Peso atau setara Rp 60 miliar.
Sedang kasus ketiga, terjadi pada 3 Agustus 2016 di perairan Sabah, Malaysia.
Kelompok bersenjata menculik 3 ABK yang bekerja di kapal penangkap udang berbendera Malaysia. Yakni Herman Manggak (nakhoda/WNI), dan dua ABK lainnya (WNI dan WN Malaysia).
Ketiganya dikuasai penculik selama 12 jam dan setibanya di sebuah pulau, dua ABK tersebut dibebaskan. Keduanya, Arianto Basruddin (WNI) dan Muhamadin Duratin (WN Malaysia), segera lapor ke polisi. Tapi Herman tetap disandera karena pemilik kapal menolak memberikan uang tebusan sebesar 10.000 Ringgit (Rp 33 juta).
“Perusahaan dalam penculikan ABK Kapal Tunda Charles 001, yaitu perusahaan pelayaran PT Rusianto Bersaudara harus bertanggung jawab penuh untuk membebaskan dan keselamatan 7 WNI yang disandera. Kasus itu terjadi akibat kelalaian perusahaan, karena saat itu pemerintah telah memberlakukan moratorium pengiriman batubara ke Filipina mengingat tidak adanya jaminan keselamatan pelayaran di perairan Filipina Selatan,” kata Hanafi.
Bahkan, PT Rusianto Bersaudara telah menandatangani surat pernyataan akan berusaha menghindari perairan Filipina Selatan dan Malaysia Timur. Perusahaan juga menyatakan akan bertanggung jawab bila terjadi hal yang tidak diinginkan terhadap armadanya.
Selain itu, Kapal Tunda Charles 001 mengubah rute pelayaran secara sepihak ke wilayah perairan Filipina Selatan yang rawan penculikan. Perubahan rute tersebut disinyalir sebagai upaya untuk memotong waktu tempuh dan menghemat bahan bakar.
“Perusahaan harus bertanggung jawab penuh atas keselamatan ke-7 pelautnya. Perusahaan tidak boleh mengalihkan tanggung jawabnya kepada pemerintah, dengan dalih apapun,” tegas Hanafi.
Menurut dia, apa yang telah dilakukan Pemerintah Indonesia, yakni tidak melakukan negosiasi apapun dengan pihak penyandera dalam upaya pembebasan sandera, adalah langkah yang benar dan harus didukung oleh semua lapisan masyarakat.
Disamping itu, lanjut Hanafi, perusahaan juga wajib bertanggung jawab terhadap keluarga sandera. Semua kebutuhan pokok, kelangsungan pendidikan anak, kesehatan fisik maupun psikis, harus dijamin oleh perusahaan.
Hanafi mengapresiasi hadirnya negara untuk melindungi warganya melalui diplomasi. Namun, pemerintah tidak boleh terlibat dalam pembayaran uang tebusan. Pembayaran tebusan harus dilakukan oleh perusahaan.
“Negara tidak boleh kalah dengan kelompok teroris, apalagi menggunakan anggaran APBN untuk membayar kelompok kriminal di negara lain,” tandasnya.[poskotanews.com]
Mungkin itulah Artikel Berita Hari ini dan terimakasih telah baca postingan ITF Mendesak Pemerintah Untuk Pelaut Indonesia Disandera Abu Sayyaf Segera Bebas job perusahaan kapal untuk pelaut terbaru 1 juni dan juli 2016
“Jangan sampai upaya yang dilakukan oleh Pemerintah Indonesia berseberangan dengan kebijakan Pemerintah Filipina yang baru, sehingga kontra produktif terhadap upaya pembebasan sandera,” tegas Hanafi Rustandi, Ketua Federasi Pekerja Transpor Internasional Asia Pasifik atau International Transport workers’ Federation (ITF) Asia Pasific di Jakarta, Kamis (11/8).
Penegasannya itu terkait belum dibebaskannya 10 ABK (Anak Buah Kapal) WNI yang disandera oleh kelompok Abu Sayyaf di Flipina Selatan. Sedang satu WNI lagi, Nakhoda kapal ikan berbendera Malaysia, diculik kelompok bersenjata di perairan Sabah, Malaysia, hingga sekarang belum diketahui nasibnya.
ITF mengamati, penculikan dan penyanderaan itu terjadi dalam tiga kasus secara terpisah. Pertama, 7 WNI ABK Kapal Tunda Charles 001, milik PT Perusahaan Pelayaran Rusianto Bersaudara, diculik oleh kelompok bersenjata yang mengklaim sebagai faksi Abu Sayyaf Group (ASG) pada 21 Juni 2016 di perairan Sulu, seusai mengantarkan batubara ke Distrik Villanueva, Propinsi Misamis Oriental, Filipina.
Tiga ABK pertama yang dibawa diculik adalah Ferry Arifin (Nakhoda), Muh. Mahbrur Dahri (KKM) dan Edi Suryono (Masinis II). Tak lama kemudian, Ismail (Mualim I), Muhammad Nasir (Masinis III), Muhammad Sofyan (Oliman), dan Robin Piter (Juru Mudi), juga diculik.
Untuk tiga ABK pertama, penyandera menuntut tebusan sebesar 150 juta Peso Filipina. Sedangkan untuk empat sisanya penyandera menuntut tebusan 250 juta Peso.
Kasus kedua, 3 WNI yang bekerja di kapal nelayan Malaysia, diculik di perairan Felda Sahabat, Malaysia, pada 9 Juli 2016. Penyandera yang juga kelompok Abu Sayyaf minta tebusan 200 juta Peso atau setara Rp 60 miliar.
Sedang kasus ketiga, terjadi pada 3 Agustus 2016 di perairan Sabah, Malaysia.
Kelompok bersenjata menculik 3 ABK yang bekerja di kapal penangkap udang berbendera Malaysia. Yakni Herman Manggak (nakhoda/WNI), dan dua ABK lainnya (WNI dan WN Malaysia).
Ketiganya dikuasai penculik selama 12 jam dan setibanya di sebuah pulau, dua ABK tersebut dibebaskan. Keduanya, Arianto Basruddin (WNI) dan Muhamadin Duratin (WN Malaysia), segera lapor ke polisi. Tapi Herman tetap disandera karena pemilik kapal menolak memberikan uang tebusan sebesar 10.000 Ringgit (Rp 33 juta).
“Perusahaan dalam penculikan ABK Kapal Tunda Charles 001, yaitu perusahaan pelayaran PT Rusianto Bersaudara harus bertanggung jawab penuh untuk membebaskan dan keselamatan 7 WNI yang disandera. Kasus itu terjadi akibat kelalaian perusahaan, karena saat itu pemerintah telah memberlakukan moratorium pengiriman batubara ke Filipina mengingat tidak adanya jaminan keselamatan pelayaran di perairan Filipina Selatan,” kata Hanafi.
Bahkan, PT Rusianto Bersaudara telah menandatangani surat pernyataan akan berusaha menghindari perairan Filipina Selatan dan Malaysia Timur. Perusahaan juga menyatakan akan bertanggung jawab bila terjadi hal yang tidak diinginkan terhadap armadanya.
Selain itu, Kapal Tunda Charles 001 mengubah rute pelayaran secara sepihak ke wilayah perairan Filipina Selatan yang rawan penculikan. Perubahan rute tersebut disinyalir sebagai upaya untuk memotong waktu tempuh dan menghemat bahan bakar.
“Perusahaan harus bertanggung jawab penuh atas keselamatan ke-7 pelautnya. Perusahaan tidak boleh mengalihkan tanggung jawabnya kepada pemerintah, dengan dalih apapun,” tegas Hanafi.
Menurut dia, apa yang telah dilakukan Pemerintah Indonesia, yakni tidak melakukan negosiasi apapun dengan pihak penyandera dalam upaya pembebasan sandera, adalah langkah yang benar dan harus didukung oleh semua lapisan masyarakat.
Disamping itu, lanjut Hanafi, perusahaan juga wajib bertanggung jawab terhadap keluarga sandera. Semua kebutuhan pokok, kelangsungan pendidikan anak, kesehatan fisik maupun psikis, harus dijamin oleh perusahaan.
Hanafi mengapresiasi hadirnya negara untuk melindungi warganya melalui diplomasi. Namun, pemerintah tidak boleh terlibat dalam pembayaran uang tebusan. Pembayaran tebusan harus dilakukan oleh perusahaan.
“Negara tidak boleh kalah dengan kelompok teroris, apalagi menggunakan anggaran APBN untuk membayar kelompok kriminal di negara lain,” tandasnya.[poskotanews.com]
Mungkin itulah Artikel Berita Hari ini dan terimakasih telah baca postingan ITF Mendesak Pemerintah Untuk Pelaut Indonesia Disandera Abu Sayyaf Segera Bebas job perusahaan kapal untuk pelaut terbaru 1 juni dan juli 2016