Jelajahi

Kategori
Best Viral Premium Blogger Templates

Iklan

Siapa Penemu Benua Amerika ? Ternyata Columbus Ketemu Pelaut Indonesia Asal Aceh Dan Minang

Pixer
Juli 19, 2016
Last Updated 2016-07-19T13:20:50Z
masukkan script iklan disini
Pelaut Online -Berbicara tentang Indonesia tentu tidak boleh melewatkan budayanya yang kaya. Kaya dalam ragam dan kaya dalam maknanya. Semua itu bercampur dan bersatu padu dalam khazanah Mahakarya Indonesia. Salah satunya adalah Ternyata Columbus Saat Menemukan Benua Amerika Disana ada Orang Aceh dan Minang Indonesia, Dan Tentu Mereka Berlayar arungi samudera seperti pelaut-pelaut bugis.

Rabu, 5 Desember 1492. Santa Maria dan Nina sudah membuang sauhnya, tepat pada sebuah tempat yang mirip dengan pelabuhan. Kini di hadapan mereka telah terbentang sebuah pulau yang luas, hampir seluas Pulau Isabella dalam pandangan Christopher Columbus. Bayangan kanibal seketika lenyap dari pikiran para pelaut Spanyol.

Pegunungannya tinggi menjulang sampai ke tumpukan awan yang berwarna putih bersih, sementara langit memberikan warna biru yang cerah. “Aku tidak percaya adanya orang-orang kanibal di pulau ini, Miguel,” seru Columbus memecah keheningan mereka menyaksikan pemandangan yang sangat indah di pulau itu. “Kamu lihat,” tunjuknya pada tempat berlabuhnya kapal mereka. “Orang-orang di pulau ini tampaknya lebih modern dibandingkan dengan para penduduk San Salvador dan Isabella, bahkan hampir mendekati peradaban kita.”
Pelaut Indonesia Penemu Benua Amerika Bukan Columbus

Miguel Pericas of Cadiz mengangguk. Ia menyetujui pendapat admiralnya. Selain tempat yang seperti pelabuhan, di sepanjang pesisir ia juga melihat adanya petak-petak pertanian yang rapi. Dari celah-celah pohon tampak terlihat adanya kepulan asap yang menjulang naik ke atas. Paling tidak, menurut perhitungannya, ada sebuah kampung yang cukup padat di balik pohon-pohon itu. Di sepanjang pantai terlihat beberapa penduduk asli yang segera terhenti aktivitasnya karena melihat adanya kapal asing di pelabuhan mereka.

Dan para pelaut Spanyol itu melihat, mereka sudah berpakaian walau belum lengkap. “Miguel,” sahut Columbus. “Kebahagiaanku tidak ternilai. Tampaknya pulau ini adalah puncak dari perjalanan kita. Pulau ini adalah the best of all the beautiful island. Perjalanan kita telah sempurna.” Mata Columbus sedikit berkaca-kaca. “Aku akan menamakan pelabuhan ini sebagai Port Conception . Dan pulau ini, kunamai dengan La Isla Espanol atau Hispaniola.”

Dua jam kemudian, satu rombongan besar penduduk asli datang. Miguel terkejut melihat kedatangan mereka. Namun tidak bagi Columbus yang sudah memperkirakan kedatangan mereka ke kapal Santa Maria. Ia hanya terkejut karena melihat penampilan mereka. Salah seorang di antara mereka ditandu oleh setidaknya empat orang.

Columbus mafhum kalau orang yang ditandu itu adalah pemimpin mereka. Pembawaan orang itu berkesan agung dan pakaiannya juga terlihat indah. Pada telinga, leher, pergelangan tangan, dan pergelangan kakinya dihiasi oleh perhiasan yang terbuat dari emas. Ia juga mengenakan sebuah tutup kepala yang berhiaskan bulu burung. Pakaiannya juga mirip sebuah mantel yang juga bersulamkan bulu-bulu burung yang beraneka warna. Sangat indah. Rombongan itu kemudian menaiki sebuah perahu, menuju Kapal Santa Maria. Para pengikutnya turut dengan perahu lain, bahkan ada beberapa di antara mereka yang langsung menerjunkan diri ke dalam laut untuk berenang. Columbus tidak menyangka bahwa penyambutannnya akan seperti itu. Setelah bertemu, Columbus mengetahui kalau pemimpin suku tersebut memiliki gelar Cacique.

Selang beberapa hari kemudian. Di sebuah lapangan yang luas, tepat di depan sebuah rumah yang terlihat paling besar di pemukiman, suasana sangat ramai. Bulan hampir penuh dengan gemintang yang memenuhi seluruh malam seakan-akan ikut memeriahkan suasana pesta itu. Namun Christopher Columbus seakan-akan tidak memperhatikan hal itu semua. Pancaran panas api unggun di depannya juga tidak mampu membuatnya lepas dari melamun.

Bagaimana mungkin? bisik hatinya sendiri. Para penduduk Pulau Bohio ini sudah teratur, baik dari segi tata pemerintahan maupun perikehidupannya. Mereka telah memiliki kemampuan untuk mengelola pertanian dengan sistem petak. Jalan-jalan telah mereka buat dengan rapi, meski belum mengenal ter. Perumahannya juga rapi dan tidak berantakan seperti rumah-rumah di Pulau San Salvador dan Pulau Isabella. Menurut Coatta, sang juru bicara, mereka telah berpuluh-puluh tahun tinggal di pulau ini.

“Silakan dimakan, Columbus,” seru Cacique dengan bahasa isyarat yang kemudian diterjemahkan oleh Coatta, mengagetkan Columbus. “Terima kasih, Cacique” jawabnya menerima sepotong ikan bakar. “Bukan,” sergah Cacique cepat. Columbus terkejut. Ia tidak merasa salah dengan ucapannya. “Cacique adalah sebutan masyarakat Pulau Bohio terhadap saya, pemimpin mereka. Sedangkan saya sendiri bernama Asada.” Columbus tersenyum. Cacique Asada mengangguk. “Anda telah melakukan siddhayatra yang jauh, begitu pula dengan nenek moyang kami yang berasal dari Suwarnadwipa.” Columbus menaikkan alisnya. “Ya,” jawab Cacique Asada melalui Coatta yang telah pandai berbahasa Spanyol. “Nenek moyang kami berasal dari Suwarnadwipa, jauh di sebelah timur sana. Suku kami memang suku pelaut yang tangguh.” Columbus mengangguk.

“Apa ini?” tanya Miguel menunjuk pada makanan yang sedang dimakannya. Buah yang berasal dari akar pepohonan setempat dan berwarna kuning setelah dikupas, lalu dibakar atau dimasak dengan menggunakan air dan berbau harum semerbak. “Pottato. Itu kentang,” jawab Cacique Asada menghembuskan asap dari hidung dan mulutnya. Asap itu sebelumnya ia hisap dari pipa bercabang yang terbakar pada ujungnya. “Ini tembakau,” lanjut Asada memperlihatkan daunnya yang sudah kering. Daun tembakau itu diremas-remas dan diletakkan pada ujung pipa yang besar. Bara api yang masih menyala sebelumnya segera membakar daun tembakau. “Tom-ba-cao? To-bac-co? Tobacco!” seru Columbus tertawa.

“Columbus, Cacique hanyalah pemerintahan setempat. Hanya menguasai pemukiman ini. Ada yang lebih tinggi dibandingkan Cacique, yaitu Guacanagari. Pusatnya terletak pada 3 hari perjalanan dari sini,” jelas Asada. “Guacanagari!” Asada mengangguk. “Saya telah mengirimkan seorang utusan ke Guacanagari. Diperkirakan, 5 hari ke depan mereka akan datang ke sini.” Asada menghembuskan asap tembakaunya lagi. “Swasti-lah jika Guacanagari mau datang,” sahutnya terkekeh. Lima hari kemudian, apa yang dikatakan Cacique Asada menjadi kenyataan.

Satu rombongan besar berdatangan. Berbagai bunyi-bunyian mengiringi kedatangan mereka. Pada barisan paling depan adalah rombongan penari yang terdiri dari para laki-laki dan perempuan yang masih berusia muda. Lalu diikuti oleh beberapa penabuh gendang yang menghentak. Ada pula beberapa orang perempuan yang membawa tongkat-tongkat panjang yang terdapat burung di ujung atasnya. Burung-burung ini bersiulan dan bercericit memeriahkan suasana.

Tepat di belakangnya ada sekitar 8 orang yang menandu seorang Guacanagari dengan pakaian dan aksesori yang beraneka ragam. Lalu di belakangnya turut mengantar adalah seluruh gotrasantana-nya dan beberapa Cacique dari daerah lain. Sama seperti yang dilakukan Cacique Asada, Guacanagari juga memberikan hadiah kepada Columbus berupa emas. Christopher Columbus sangat senang diperlakukan dengan hormat oleh mereka. Pada malam harinya, mereka mengadakan pesta lagi. Dan lebih meriah dibanding malam-malam sebelumnya.

Ilustrasi di atas hanya menggambarkan sebuah sejarah yang selama ini terpendam. Sejarah tentang Indonesia. Sejarah yang paling tidak, semoga membuka beberapa sejarawan untuk kembali membuka mata hati mereka untuk mencari informasi yang benar. Pelabuhan Port Conception terdapat di Kota Santo Domingo. Pulau Hispaniola sebenarnya sudah memiliki nama.

Para penduduk asli menyebut pulau itu dengan nama Bohio dan merupakan salah satu pulau di kepulauan Zibao. Di dunia ini, kata ‘Sibao’ hanya ditemukan di wilayah Riau (Indonesia) dan di Filipina (pada satu wilayah yang menurut sejarah dikuasai pertama kali oleh orang yang berasal dari Sumatra). “Cacique” sendiri dipercaya berasal dari kata “Keucik” yang merupakan istilah tata pemerintahan (pemimpin) yang di dunia ini hanya dikenal di Aceh. Bahasa yang digunakan oleh penduduk Pulau Bohio dipercaya campuran Melayu dan Sansekerta. Seperti pada kata siddhayatra yang berarti perjalanan, swasti yang berarti berbahagia, gotrasantana yang berarti keluarga, dan Suwarnadwipa yang berarti Pulau Sumatera.

Perlu diketahui bahwa Orang Eropa baru mengetahui tentang tanaman kentang (potato) dan tembakau (tobacco) di Pulau Bohio ini, yang dibawa oleh Chistopher Columbus. Kata “Guacanagari” ternyata hampir sama dengan kata “Kuasa-Nagari” yang merupakan istilah tata pemerintahan (pemimpin) yang hanya dikenal di daerah Minang.

Pusat Guacanagari kini dikenal dengan sebutan Kota La Navidad. Kebudayaan penduduk Bohio di atas digambarkan dengan detail, sesuai dengan kesaksian Miguel Pericas of Cadiz di buku “Columbus Sails” yang juga mengingatkan kita akan kebudayaan di Aceh dan Minang.

Pulau Bohio saat ini telah terbagi menjadi dua republik, yaitu Haiti dan Dominika. Menurut catatan Christopher Columbus tertanggal 24 Desember 1492—tepat saat dirinya pergi meninggalkan Pulau Bohio untuk kembali ke Spanyol—ada satu pedoman pada masyarakat Bohio yang dijumpainya dan telah membuka matanya, yaitu “Segalanya milik bersama dan dikerjakan secara bersama-sama untuk kepentingan bersama.” Sebuah pedoman bermasyarakat yang sangat indah dan dengan pedoman itulah mereka dapat menjalani kehidupan bersama. Sesuatu yang patut dicontoh oleh orang-orang Eropa. Dan ternyata … pedoman ini juga digunakan oleh masyarakat Minang.

Stephane Faye dalam “Histoire Universelle Illustre de Pays et des Peuples” juga mengatakan bahwa masyarakat Bohio berperawakan kecil, kepalanya rata di sebelah belakang, warna kulitnya sawo muda, keningnya besar, tulang pipinya menonjol, matanya sipit dan hidungnya pesek. Mereka juga mempunyai rambut yang panjang dan diikat menjadi gelung, jenggotnya pun kasar dan jarang.

Beberapa ciri khas orang Sriwijaya. Kalau dirunut ke belakang, masyarakat Bohio tersebut memang diperkirakan berasal dari Kerajaan Sriwijaya pada masa kepemimpinan Balaputradewa tahun 840. Saat itu memang Kerajaan Sriwijaya berada pada masa jayanya sebagai negara maritim, dengan armada kapal laut yang luar biasa.

Pada tahun 1025, Kerajaan Chola dari India (pada masa Rajendra Cholavarman) menyerang Kerajaan Sriwijaya (pada masa Sri Sanggramawidjaja Tunggadewa). Sriwijaya hancur dan beberapa yang selamat berlayar hingga sampai Pulau Bohio. Itu semua terjadi ratusan tahun sebelum Columbus datang.

Namun yang membuat hati ini miris, Chistopher Columbus datang dengan membawa misi yang jauh dari persahabatan, yaitu rempah-rempah dan emas. Dua hal itulah yang akhirnya dijadikan alasan bagi armada Spanyol untuk menjajah penduduk asli Pulau Bohio. Hingga persis seperti yang digambarkan dalam ending film “1492: Conquest of Paradise” karya Ridley Scott yang dirilis pada 9 Oktober 1992, masyarakat Bohio dibantai tanpa tersisa. Kebudayaannya pun hilang dan tergantikan oleh kebudayaan Spanyol seperti yang kita lihat saat ini. Sebuah Mahakarya Indonesia yang punah oleh pembelokan sejarah. Wallahu’alam.

Daftar Bacaan:
1. C. Walter Hodge. Columbus Sails. Penguin Books, Ltd. 1947.
2. Joesoef Sou’yb. Pelaut Indonesia menemukan Benua Amerika sebelum Ch. Columbus. Penerbit Rimbow, Medan. 1990.
3. Stephane Faye. Histoire Universelle Illustre de Pays et des Peuples. 1930.
Artikel dan foto gambar dikutip dari sosok kitu
Vasco da Gama, Amerigo Vespucci, Fernando de Magelhaens Diego Columbus (Anak laki-laki), Filipa Moniz Perestrelo (Mantan istri) biodata profil Christopher Columbus Pelaut Indonesia menemukan benua Amerika serikat sebelum Ch. Columbus Mungkin itulah Artikel Berita Hari ini dan terimakasih telah baca postingan Siapa Penemu Benua Amerika ? Ternyata Columbus Ketemu Pelaut Indonesia Asal Aceh Dan Minang lihat juga Foto Gigi Hadid: Model Cantik Bersama Pelaut Buat Iklan Tommy Hilfiger
iklan
Komentar
komentar yang tampil sepenuhnya tanggung jawab komentator seperti yang diatur UU ITE
  • Stars Rally to Beat Predators in Winter Classic at Cotton Bowl