masukkan script iklan disini
Pelaut Online - Pelaut Senior Kecam PP KPI Yang Masih Bicara Soal Bukan Anggota KPI Terhadap ABK Yang Disandera itu, Sangat Menyakitkan..
Seperti diketahui perkembangan informasinya dan menurut siaran pers Kementerian Luar Negeri (Kemenlu) pada hari Jumat 24 Juni 2016 lalu, penyanderaan terhadap tujuh WNI itu terjadi di Laut Sulu di wilyah Filipina Selatan, dalam dua tahap. Tahap pertama terjadi pada 20 Juni sekitar pukul 11.30 waktu setempat, dan tahap kedua sekitar sekitar 12.45 waktu setempat.
Menlu Retno Marsudi menyebut pelaku penyanderaan tujuh WNI adalah "dua kelompok bersenjata yang berbeda". Pada saat terjadi penyanderaan, kapal membawa 13 orang ABK, tujuh ABK disandera dan enam lainnya dibebaskan.
(foto istimewa )
Menlu Retno menegaskan Pemerintah Indonesia akan melakukan semua cara yang memungkinkan untuk membebaskan tujuh WNI yang disandera melalui kerja sama dengan berbagai pihak, termasuk pemerintah Filipina. "Keselamatan ketujuh WNI merupakan prioritas," tegasnya. Sebelumnya, 14 pelaut Indonesia telah dibebaskan dalam dua periode yaitu April dan Mei lalu setelah disandera di wilayah Filipina selatan oleh kelompok Abu Sayyaf, juga berkat diplomasi Menlu Retno yang selalu katakan keselamatan jiwa ABK WNI yang diutamakan..
Sementara di pihak Kesatuan Pelaut Indonesia (KPI) sampai sejauh ini masih terus melakukan koordinasi dengan pihak terkait seperti Kemenlu, Perhubungan Laut (Hubla), Association Marine Officer and Seafarer Union of Philipine (Amosup), serta perusahaan yang membawa 7 ABK yang disandera tersebut, PT Perusahaan Pelayaran Rusianto Bersaudara.
Menurut Capt Hasudungan ke tujuh ABK itu tidak terdaftar di dalam keanggotaan KPI, jadi pihaknya hanya mencoba memantau situasi yang terjadi saat ini dan bagaimana perkembangannya. Sampai saat ini KPI terus melakukan koordinasi dengan kesatuan pelaut yang ada di Filipina.
“Mereka akan memberikan informasi lanjutan terkait pelaut Indonesia yang disandera di negaranya (Filipina) kepada pihak kami (KPI)," tutur Capt Hasudungan yang jadi Presiden KPI melalui Kongres VIII 2014 dan untuk periode 2014-2019, sementara PP KPI periode 2009-2014 tidak pernah ada akibat Kongres VII KPI terjadi dead lock. Artinya Presiden KPI yang tidak memiliki legalitas hukum dari hasil Kongres VIII yang batal demi hukum.
Pasalnya lagi-lagi ditemukan ekspos dari PP KPI adalah soal Pelaut yang tidak terdaftar di dalam keanggotaan KPI, sekalipun statusnya itu jelas-jelas adalah Pelaut Indonesia. Bagi kami, Pelaut Senior, ini sangat menyakitkan. Terlepas pelaut itu adalah bukan anggota KPI, pembelaan organisasi serikat pekerjanya Pelaut Indonesia ini sudah seharusnya melakukan pembelaan secara all-out. Sikap PP KPI yang seperti itu adalah kontraproduktif dengan sikap Menlu Retno. Maka menjadi wajar jika banyak pelaut tidak suka sama PP KPI dengan menuntutnya KLB..
Jika mau jujur, Pelaut Senior juga perlu mempertanyakan soal keanggotaan Capt. Hasudungan di organisasi KPI. Sejak kapan dia jadi anggota, dan pernah ada tidak kontribusinya yang jelas kepada organisasi. Berikutnya bagi Pelaut Senior wajib juga mempertanyakan kapan Capt. Hasudungan menjadi pengurus organisasi KPI selama lima tahun berturut-turut sebelumnya, sebab tiba-tiba terpilih menjadi Presiden KPI yang jelas-jelas melanggar AD/ART KPI.
Pelaut Senior ingatkan kepada yang namanya Hasudungan, yang katanya jadi Presiden KPI yang produk illegal itu, janganlah manampar wajah orang lain sebelum mukanya sendiri belum bercermin tentang dirinya sendiri apa benar keanggotaannya di KPI bisa dibuktikan.
Untuk Pergerakan Pelaut Indonesia (PPI), Pelaut Senior berharap untuk terus saja kawal sampai tuntas sebagai bentuk solidaritas sesama pelaut, bukan karena pelaut itu anggota atau bukan dari organisasi PPI. Berlomba-lombalah dalam kebajikan akan lebih terhormat ketimbang hanya mengandalkan koordinasi dan koordinasi kesana-kemari yang dilakukan oleh PP KPI tapi tak pernah terbukti dan hanya lipeservices. facebook permalink
Salam Perjuangan Selalu Sahabat . .Jakarta, 29 Juni 2016. baca juga postingan sebelumnya ABK MT Andhika Arsanti ( Kapten / Masisnis 1 ) Ditangkap Karena Jual Minyak Pertamina
Seperti diketahui perkembangan informasinya dan menurut siaran pers Kementerian Luar Negeri (Kemenlu) pada hari Jumat 24 Juni 2016 lalu, penyanderaan terhadap tujuh WNI itu terjadi di Laut Sulu di wilyah Filipina Selatan, dalam dua tahap. Tahap pertama terjadi pada 20 Juni sekitar pukul 11.30 waktu setempat, dan tahap kedua sekitar sekitar 12.45 waktu setempat.
Menlu Retno Marsudi menyebut pelaku penyanderaan tujuh WNI adalah "dua kelompok bersenjata yang berbeda". Pada saat terjadi penyanderaan, kapal membawa 13 orang ABK, tujuh ABK disandera dan enam lainnya dibebaskan.
(foto istimewa )
Menlu Retno menegaskan Pemerintah Indonesia akan melakukan semua cara yang memungkinkan untuk membebaskan tujuh WNI yang disandera melalui kerja sama dengan berbagai pihak, termasuk pemerintah Filipina. "Keselamatan ketujuh WNI merupakan prioritas," tegasnya. Sebelumnya, 14 pelaut Indonesia telah dibebaskan dalam dua periode yaitu April dan Mei lalu setelah disandera di wilayah Filipina selatan oleh kelompok Abu Sayyaf, juga berkat diplomasi Menlu Retno yang selalu katakan keselamatan jiwa ABK WNI yang diutamakan..
Sementara di pihak Kesatuan Pelaut Indonesia (KPI) sampai sejauh ini masih terus melakukan koordinasi dengan pihak terkait seperti Kemenlu, Perhubungan Laut (Hubla), Association Marine Officer and Seafarer Union of Philipine (Amosup), serta perusahaan yang membawa 7 ABK yang disandera tersebut, PT Perusahaan Pelayaran Rusianto Bersaudara.
Menurut Capt Hasudungan ke tujuh ABK itu tidak terdaftar di dalam keanggotaan KPI, jadi pihaknya hanya mencoba memantau situasi yang terjadi saat ini dan bagaimana perkembangannya. Sampai saat ini KPI terus melakukan koordinasi dengan kesatuan pelaut yang ada di Filipina.
“Mereka akan memberikan informasi lanjutan terkait pelaut Indonesia yang disandera di negaranya (Filipina) kepada pihak kami (KPI)," tutur Capt Hasudungan yang jadi Presiden KPI melalui Kongres VIII 2014 dan untuk periode 2014-2019, sementara PP KPI periode 2009-2014 tidak pernah ada akibat Kongres VII KPI terjadi dead lock. Artinya Presiden KPI yang tidak memiliki legalitas hukum dari hasil Kongres VIII yang batal demi hukum.
Pasalnya lagi-lagi ditemukan ekspos dari PP KPI adalah soal Pelaut yang tidak terdaftar di dalam keanggotaan KPI, sekalipun statusnya itu jelas-jelas adalah Pelaut Indonesia. Bagi kami, Pelaut Senior, ini sangat menyakitkan. Terlepas pelaut itu adalah bukan anggota KPI, pembelaan organisasi serikat pekerjanya Pelaut Indonesia ini sudah seharusnya melakukan pembelaan secara all-out. Sikap PP KPI yang seperti itu adalah kontraproduktif dengan sikap Menlu Retno. Maka menjadi wajar jika banyak pelaut tidak suka sama PP KPI dengan menuntutnya KLB..
Jika mau jujur, Pelaut Senior juga perlu mempertanyakan soal keanggotaan Capt. Hasudungan di organisasi KPI. Sejak kapan dia jadi anggota, dan pernah ada tidak kontribusinya yang jelas kepada organisasi. Berikutnya bagi Pelaut Senior wajib juga mempertanyakan kapan Capt. Hasudungan menjadi pengurus organisasi KPI selama lima tahun berturut-turut sebelumnya, sebab tiba-tiba terpilih menjadi Presiden KPI yang jelas-jelas melanggar AD/ART KPI.
Pelaut Senior ingatkan kepada yang namanya Hasudungan, yang katanya jadi Presiden KPI yang produk illegal itu, janganlah manampar wajah orang lain sebelum mukanya sendiri belum bercermin tentang dirinya sendiri apa benar keanggotaannya di KPI bisa dibuktikan.
Untuk Pergerakan Pelaut Indonesia (PPI), Pelaut Senior berharap untuk terus saja kawal sampai tuntas sebagai bentuk solidaritas sesama pelaut, bukan karena pelaut itu anggota atau bukan dari organisasi PPI. Berlomba-lombalah dalam kebajikan akan lebih terhormat ketimbang hanya mengandalkan koordinasi dan koordinasi kesana-kemari yang dilakukan oleh PP KPI tapi tak pernah terbukti dan hanya lipeservices. facebook permalink
Salam Perjuangan Selalu Sahabat . .Jakarta, 29 Juni 2016. baca juga postingan sebelumnya ABK MT Andhika Arsanti ( Kapten / Masisnis 1 ) Ditangkap Karena Jual Minyak Pertamina